Jakarta Bercerita
Gedung-gedung di kota ini seolah saling berbisik satu dan yang lain.
Hiruk-pikuk seolah menjadi pemandangan yang membosankan di kota ini.
Aku Bosan!
Manusia disini hanya bercerita mengenai uang dan kekuasaan.
Kemewahan dan ketenaran tak luput dari setiap lisan yang berbicara.
Aku Muak!
Segudang mimpi seolah menjadi cambuk amarah para pekerja serabutan.
Suara klakson seolah beradu memecah keheningan pagi dan malam hari.
Aku Piluh!
Disini hukum rimba menjadi pedoman hidup.
Dan arti kemanusiaan seolah hilang ditenggelamkan banjir yang kadang menghiasi kota ini.
Jakarta, 16 Mei 2016
Rabu, 15 Juni 2016
Puisi Kesembilanbelas
Waktu
Waktu berjalan tertatih menanggalkan bekas di hati.
Butiran Pasir dalam wadah beku seolah pertanda bisu di hari itu.
Di telaga itu dirimu pernah bersenandung bersamaku.
Nada yang teruntai hanya menguap di persinggahan udara yang menusuk.
Waktu itu singkat.
dan
Abadi itu panjang.
Tak perlu berbicara waktu karena hanya membuang-buang waktu.
Lebih baik jika dirimu menjadi Abadi dalam Puisi ini.
Jakarta, 13 Mei 2016
Waktu berjalan tertatih menanggalkan bekas di hati.
Butiran Pasir dalam wadah beku seolah pertanda bisu di hari itu.
Di telaga itu dirimu pernah bersenandung bersamaku.
Nada yang teruntai hanya menguap di persinggahan udara yang menusuk.
Waktu itu singkat.
dan
Abadi itu panjang.
Tak perlu berbicara waktu karena hanya membuang-buang waktu.
Lebih baik jika dirimu menjadi Abadi dalam Puisi ini.
Jakarta, 13 Mei 2016
Puisi Kedelapanbelas
Jarak
Jauhku melangkah meninggalkan batas hidupku.
Jarak pemisah antara angan dan kenangan telah lebur menjadi satu.
Untaian sajak seakan membentang jauh ke dimensi keterasingan.
Entahlah..
Aku bukan sebab sebuah akibat.
Aku bukan nada sebuah irama.
Aku bukan tinta sebuah pena.
Tapi,
Aku hanya penjelmaan dari aksara pelipur lara.
Jakarta, 10 Mei 2016
Jauhku melangkah meninggalkan batas hidupku.
Jarak pemisah antara angan dan kenangan telah lebur menjadi satu.
Untaian sajak seakan membentang jauh ke dimensi keterasingan.
Entahlah..
Aku bukan sebab sebuah akibat.
Aku bukan nada sebuah irama.
Aku bukan tinta sebuah pena.
Tapi,
Aku hanya penjelmaan dari aksara pelipur lara.
Jakarta, 10 Mei 2016
Resensi Film Pertama
Ada Apa Dengan Cinta?(2002)
Film ini
bagi sebagian orang hanya bercerita tentang pergolakan Cinta pada masa SMA saat
itu. Dan menurut saya itu benar adanya, akan tetapi saya ingin mencoba
menelisik film ini dari perspektif yang berbeda. Kita ketahui sosok Rangga
(Nicholas Saputra) yang bersikap dingin dengan keadaan disekitarnya tapi secara
‘diam’ dia juga peka dengan manusia pada lingkungannya atau bisa dibahasakan
“Humanist”. Seperti dia memperlakukan Pak Wardiman (Mang Diman) layaknya
ayahnya sendiri. Pak Wardiman merupakan penjaga sekolah dan sekaligus orang
yang mendaftarkan puisi Rangga dalam lomba puisi disekolahnya meskipun hal
tersebut diluar dari sepengetahuan Rangga sendiri.
Selanjutnya
primadona dalam film AADC adalah Cinta (Dian Sastrowardoyo) kita ketahui bahwa
Cinta memiliki peran yang sangat penting dalam film tersebut. Sosok Cinta yang
sangat care terhadap sahabatnya bahkan kedekatan dia dengan “Geng Cinta”
seperti layaknya keluarga sendiri. Tapi, Cinta sendiri memiliki sifat yang
menginginkan pengakuan dari lingkungannya sehingga dia cukup kecewa ketika
lomba puisi yang diadakan di sekolahnya dimenangkan oleh Rangga. Padahal,
teman-temannya telah mengeluh-eluhkan namanya pada saat akan dibacakannya nama
pemenang puisi oleh Bapak Kepala Sekolahnya.
Puisi.
Inilah yang memberikan kesan romantis dan menarik dari film AADC. Bahkan tanpa
disadari berawal dari puisilah terjadi kedekatan Rangga dan Cinta akan tetapi
pertengkaranpun diawali oleh puisi. Seperti ketika Rangga memenangkan lomba
puisi dan Cinta hendak mewawancarai Rangga untuk dimuat di mading sekolah, Tapi
Rangga menolak dan bersikap acuh terhadap Cinta sehingga membuat Api permusuhan
diantara mereka berdua. Tapi, merekapun menjadi damai ketika Cinta
mengembalikan buku Rangga yang berjudul “Aku” karya Sjuman Djaya yang sempat
terjatuh ketika keduanya berselisih paham.
Saya
pribadi sedikit merasa bingung kenapa buku “Aku” menjadi referensi bacaan dalam
film tersebut. Padahal setelah saya membaca buku tersebut hingga tuntas, saya
tidak mendapatkan kesamaan “Benang Merah” antara buku tersebut dan Film AADC.
Sedikit menggambarkan bahwa dalam buku tersebut tidak lain adalah kisah perjalanan
hidup Chairil Anwar dan narasi dalam buku tersebut menggambarkan pergolakan
masyakarat Indonesia dalam merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Mungkin dalam
benak saya, buku tersebut sengaja dihadirkan sebagai upaya untuk meningkatkan
kepekaan masyarakat terhadap sastra Indonesia yang kian menurun. Apalagi dalam
buku itu menceritakan Chairil Anwar yang merupakan sastrawan legendaris di Indonesia.
Bahkan bukan saja itu, kita mampu membayangkan kondisi Indonesia pada saat itu
yang digamabar dalam buku tersebut mengalami pergolakan hingga peperangan yang
cukup sengit terhadap penjajah. Ditambah Rangga mengagumi sosok Chairil Anwar.
Rangga
dan Cinta merupakan 2 insan yang berusaha menyatu tapi tak sanggup untuk
berkata jujur akan perasaan mereka berdua. Mereka berpuisi sebagai media
kejujuran tapi lisan mereka seolah beku untuk mengatakan yang sebenarnya mereka
berdua rasakan selama ini. Hingga pada suatu hari Rangga memutuskan untuk
pindah ke New York demi melanjutkan pendidikan dan hidupnya disana bersama
Ayahnya tercinta. Kabar kepergian Rangga dari Pak Wardiman sontak membuat Cinta
terkejut dibuatnya. Akan tetapi berkat dari dukungan “Geng Cinta” akhirnya
Cinta mengambil langkah nekat untuk menyusulnya ke Bandara.
Pertemuan
mereka di Bandara tidak mendapatkan hasil yang memuaskan untuk Cinta sendiri
dikarenakan Rangga tetap pergi meninggalkannya. Adegan Ciuman mereka seolah
menyiratkan sebuah gambaran Romantisme yang terjadi dari kedua insan yang jatuh
cinta tersebut. Akan tetapi takdir dan jarak harus memisahkan mereka. Sebelum
Rangga benar-benar pergi dari kehidupan Cinta, Dia memberikan sebuah buku saku
kepada Cinta untuk dibacanya pada halaman terakhir. Ternyata terdapat puisi
yang sengaja ditujukan kepada Cinta;
Perempuan datang atas nama cinta
bunda pergi karna cinta
digenangi air racun jingga adalah wajahmu
seperti bulan lelap tidur di hatimu
yang berdinding kelam dan kedinginan
Ada apa dengannya
meninggalkan hati untuk dicaci
lalu sekali ini aku melihat karya surga
dari mata seorang hawa
Ada apa dengan cinta
tapi aku pasti akan kembali
dalam satu purnama
untuk mempertanyakan kembali cintanya.
bukan untuknya, bukan untuk siapa
tapi untukku
karena aku ingin kamu,itu saja.
bunda pergi karna cinta
digenangi air racun jingga adalah wajahmu
seperti bulan lelap tidur di hatimu
yang berdinding kelam dan kedinginan
Ada apa dengannya
meninggalkan hati untuk dicaci
lalu sekali ini aku melihat karya surga
dari mata seorang hawa
Ada apa dengan cinta
tapi aku pasti akan kembali
dalam satu purnama
untuk mempertanyakan kembali cintanya.
bukan untuknya, bukan untuk siapa
tapi untukku
karena aku ingin kamu,itu saja.
Pesan dari puisi tersebut menyiratkan bahwa Rangga
akan kembali demi Cinta yang menunggunya. Well,
semoga saja Rangga kembali dalam satu Purnama.
Puisi Ketujuhbelas
Batas-batas
Batas-batas sepi berada dalam nestapa langkah yang rumit.
Tersingkap suatu perasaan kompleks untuk menyikapi pertautan hati ini.
Bejana hati siap terisi akan cintanya.
Tapi, nalarku mati jika dihapadapkannya senyumnya.
Duh! Jauhkan tatapannya dariku.
Aku berdalih dia tak merasa.
Sebab hanya dari balik tebing-tebinglah aku berani menatapnya.
Batas-batas sepi berada dalam nestapa langkah yang rumit.
Tersingkap suatu perasaan kompleks untuk menyikapi pertautan hati ini.
Bejana hati siap terisi akan cintanya.
Tapi, nalarku mati jika dihapadapkannya senyumnya.
Duh! Jauhkan tatapannya dariku.
Aku berdalih dia tak merasa.
Sebab hanya dari balik tebing-tebinglah aku berani menatapnya.
Puisi Keenambelas
Benalu
Aku hanya benalu.
Terikat-ikat pada pekat.
Tajamku menatap.
Lirihku tersenyum.
Hajar aku ombak.
Sukmaku berontak.
Syahdukupun terdengar.
Sunyi mendekapku dalam gelap.
Jika esok matahari meninggi.
Maka harapku kepadamu kian menjadi.
Aku hanya benalu.
Terikat-ikat pada pekat.
Tajamku menatap.
Lirihku tersenyum.
Hajar aku ombak.
Sukmaku berontak.
Syahdukupun terdengar.
Sunyi mendekapku dalam gelap.
Jika esok matahari meninggi.
Maka harapku kepadamu kian menjadi.
Senin, 13 Juni 2016
Puisi Kelimabelas
Bayang-bayang Imajinasi
Sore itu.
Aku dan Kamu menatap senja yang kian mempesona.
Diteras rumah.
Kita berupaya berimajinasi akan makna dan arti hidup.
Tapi, Ketika senja meninggalkan kita dan malam menggantikan keagungannya.
Aku tersadar dirimu ikut hilang bersama kepergian matahari.
Terima Kasih bayangan.
Kau telah menjadi teman imajinasiku pada sore tadi.
Sore itu.
Aku dan Kamu menatap senja yang kian mempesona.
Diteras rumah.
Kita berupaya berimajinasi akan makna dan arti hidup.
Tapi, Ketika senja meninggalkan kita dan malam menggantikan keagungannya.
Aku tersadar dirimu ikut hilang bersama kepergian matahari.
Terima Kasih bayangan.
Kau telah menjadi teman imajinasiku pada sore tadi.
Puisi Keempatbelas
Tangis Membekas
Air mataku tak terasa telah membanjiri ruanganku yang begitu sempit.
Buku-buku yang selama ini menjadi acuan hidupku.
Seolah hanyut dalam derasnya tangisku.
Sebabku menangis bukan karena aku patah hati atau aku merana dalam kesendirian.
Tapi, tangisku karena melihat kaum wanita yang tak mendapatkan pendidikan yang layak sepertiku.
Wahai para pemangku kekuasaan.
Tak sedihkah dirimu melihat ruanganku hanyut akan tangisku?
Aku tak menuntut harta.
Pintaku hanya kesetaraan.
Biar aku, kamu, dan kita membangun negara ini untuk menjadi lebih baik.
Air mataku tak terasa telah membanjiri ruanganku yang begitu sempit.
Buku-buku yang selama ini menjadi acuan hidupku.
Seolah hanyut dalam derasnya tangisku.
Sebabku menangis bukan karena aku patah hati atau aku merana dalam kesendirian.
Tapi, tangisku karena melihat kaum wanita yang tak mendapatkan pendidikan yang layak sepertiku.
Wahai para pemangku kekuasaan.
Tak sedihkah dirimu melihat ruanganku hanyut akan tangisku?
Aku tak menuntut harta.
Pintaku hanya kesetaraan.
Biar aku, kamu, dan kita membangun negara ini untuk menjadi lebih baik.
Puisi Ketigabelas
Pahlawan, Berjuang, dan Kebahagiaan
Tak usah kau berharap menjadi seorang PAHLAWAN.
Jika goresan luka membuatmu menderita.
Tak usah kau teriakkan kata BERJUANG.
Jika kamu ragu akan keberhasilan.
Tak usah kau mencari KEBAHAGIAAN.
Jika dirimu lebih nyaman dengan sebuah keterpurukan.
Lebih baik kuperkenalkan saja dengan sosok PAHLAWAN yang BERJUANG demi KEBAHAGIAAN para orang yang tertindas.
Dia adalah R.A Kartini.
Tak usah kau berharap menjadi seorang PAHLAWAN.
Jika goresan luka membuatmu menderita.
Tak usah kau teriakkan kata BERJUANG.
Jika kamu ragu akan keberhasilan.
Tak usah kau mencari KEBAHAGIAAN.
Jika dirimu lebih nyaman dengan sebuah keterpurukan.
Lebih baik kuperkenalkan saja dengan sosok PAHLAWAN yang BERJUANG demi KEBAHAGIAAN para orang yang tertindas.
Dia adalah R.A Kartini.
Puisi Keduabelas
Surat Singkat Untukmu
Dear R.A Kartini.
Engkau tetap abadi dalam sejarah.
Engkau tetap sosok inspirasi bagi perempuan.
Engkau tetap tersirat dalam lisan perjuangan.
Dan engkau tetap menjadi simbol dari bentuk kesetaraan.
Terima Kasih.
Karena engkau telah menjadi jawaban dari ketidak-adilan yang dialami oleh Perempuan.
Dear R.A Kartini.
Engkau tetap abadi dalam sejarah.
Engkau tetap sosok inspirasi bagi perempuan.
Engkau tetap tersirat dalam lisan perjuangan.
Dan engkau tetap menjadi simbol dari bentuk kesetaraan.
Terima Kasih.
Karena engkau telah menjadi jawaban dari ketidak-adilan yang dialami oleh Perempuan.
Puisi Kesebelas
Dialah R.A Kartini
Kelemahanku terletak pada wanita.
Kebahagianku bersumber dari senyuman seorang wanita.
Perjuangku hanyalah untuk mendapatkan seorang wanita.
Tapi naas nasibku.
Ternyata wanita itu tidak sedikitpun menanggapiku.
Dia malah sibuk memperjuangkan keadilan.
R.A Kartini namanya.
Kelemahanku terletak pada wanita.
Kebahagianku bersumber dari senyuman seorang wanita.
Perjuangku hanyalah untuk mendapatkan seorang wanita.
Tapi naas nasibku.
Ternyata wanita itu tidak sedikitpun menanggapiku.
Dia malah sibuk memperjuangkan keadilan.
R.A Kartini namanya.
Puisi Kesepuluh
Bayang-bayang Semu
Pejamkan matamu maka bayangkan keindahan.
Mungkin akan terlintas pemandangan alam yang begitu asri dan tenang.
Tapi bagiku berbeda.
Yang terlintas dalam pikiranku adalah kesetaraan yang diperjuangkan oleh R.A Kartini.
Itulah keindahan yang sebenarnya.
Jika Manusia hidup bersama dengan perlakuan yang adil di Negeri ini.
Pejamkan matamu maka bayangkan keindahan.
Mungkin akan terlintas pemandangan alam yang begitu asri dan tenang.
Tapi bagiku berbeda.
Yang terlintas dalam pikiranku adalah kesetaraan yang diperjuangkan oleh R.A Kartini.
Itulah keindahan yang sebenarnya.
Jika Manusia hidup bersama dengan perlakuan yang adil di Negeri ini.
Puisi Kesembilan
Pintaku Kepadamu
Musik seolah tak meluluhkan hatiku.
Dirimu seolah tak indah dimataku.
Cinta seolah bualan basi yang sering terdengar disana-sini.
Dan diriku seolah menjadi batu karang yang diam dihempas ombak yang bergerumuh.
Ada apa ini?
Bukan seperti ini yang kuharapkan.
Ini bukan aku.
Tapi, ini penggambaran dari gelisahku yang memberontak.
Sebaiknya kutancapkan saja harapan dan cintaku kepada sang pencipta.
Karena hanya dia yang abadi dan tak terikat ruang dan waktu.
Tuhan dengar!
Bisakah kau menghilangkan kegelisahanku terhadap diriku sendiri?
Hanya itu pintaku diatas segala keinginanku kepadamu.
*Aku hanya berteriak dalam hati, karena suara yang lantang tak mampu mengalahkan suara hujan yang merdu di malam ini.*
Musik seolah tak meluluhkan hatiku.
Dirimu seolah tak indah dimataku.
Cinta seolah bualan basi yang sering terdengar disana-sini.
Dan diriku seolah menjadi batu karang yang diam dihempas ombak yang bergerumuh.
Ada apa ini?
Bukan seperti ini yang kuharapkan.
Ini bukan aku.
Tapi, ini penggambaran dari gelisahku yang memberontak.
Sebaiknya kutancapkan saja harapan dan cintaku kepada sang pencipta.
Karena hanya dia yang abadi dan tak terikat ruang dan waktu.
Tuhan dengar!
Bisakah kau menghilangkan kegelisahanku terhadap diriku sendiri?
Hanya itu pintaku diatas segala keinginanku kepadamu.
*Aku hanya berteriak dalam hati, karena suara yang lantang tak mampu mengalahkan suara hujan yang merdu di malam ini.*
Puisi Kedelapan
Impian R.A Kartini
Kau bilang ini adil?!
Kami bilang ini pembodohan.
Kau bilang kami sebaiknya di dapur?!
Aku bilang gigit saja jarimu dan anggap itu seperti potongan wortel yang segar.
Aku menangis bukan karena aku sendiri meratapi nasib.
Aku diam memikirkan para perempuan yang kian bodoh tanpa ilmu pengetahuan.
Karena itu aku ingin melawan!
Sadar diriku bahwa pengetahuan itu seperti surga.
Dan harapanku surga itu dihuni juga oleh manusia yang berpengetahuan.
Dunia kian gelap jika cahaya hidup hanya diperuntukkan untuk kaum adam dan bangsawan.
Dunia tampak tak adil bagiku dan para golonganku!
Bukan uang yang kami harapkan!
Tapi kesetaraan akan ilmu pengetahuanlah yang ingin ku raih bersama para perempuan yang belum tercerahkan.
Kau bilang ini adil?!
Kami bilang ini pembodohan.
Kau bilang kami sebaiknya di dapur?!
Aku bilang gigit saja jarimu dan anggap itu seperti potongan wortel yang segar.
Aku menangis bukan karena aku sendiri meratapi nasib.
Aku diam memikirkan para perempuan yang kian bodoh tanpa ilmu pengetahuan.
Karena itu aku ingin melawan!
Sadar diriku bahwa pengetahuan itu seperti surga.
Dan harapanku surga itu dihuni juga oleh manusia yang berpengetahuan.
Dunia kian gelap jika cahaya hidup hanya diperuntukkan untuk kaum adam dan bangsawan.
Dunia tampak tak adil bagiku dan para golonganku!
Bukan uang yang kami harapkan!
Tapi kesetaraan akan ilmu pengetahuanlah yang ingin ku raih bersama para perempuan yang belum tercerahkan.
Puisi Ketujuh
Entahlah
Hidupku terlalu bebas.
Bahkan tak terbatas.
Kumau seseorang bertahta.
Agar hidupku dapat tertata.
Hidupku terlalu bebas.
Bahkan tak terbatas.
Kumau seseorang bertahta.
Agar hidupku dapat tertata.
Puisi Keenam
ABADI
Mungkin hanya dengan coretan tinta.
Membuat dirimu akan menjadi abadi.
Mungkin hanya dengan coretan tinta.
Membuat dirimu akan menjadi abadi.
Puisi Kelima
Seragamku Yang Tercoreng
Mataku seolah bingas!
Tanganku mengepal begitu kuat.
Keringatku bercucuran layaknya air bah yang mengalir begitu deras.
Seragamku terlihat semakin lusu.
Kendaraan hilir mudik seolah menjadi penyemangatku untuk bertindak!
Satu, dua, hingga puluhan remaja terlihat kian mendekat.
Matahari tampak mulai meninggalkanku.
Maka kuteriakkan kata 'SERANG!' untuk mengawali pertarungan sore itu.
Mataku seolah bingas!
Tanganku mengepal begitu kuat.
Keringatku bercucuran layaknya air bah yang mengalir begitu deras.
Seragamku terlihat semakin lusu.
Kendaraan hilir mudik seolah menjadi penyemangatku untuk bertindak!
Satu, dua, hingga puluhan remaja terlihat kian mendekat.
Matahari tampak mulai meninggalkanku.
Maka kuteriakkan kata 'SERANG!' untuk mengawali pertarungan sore itu.
Langganan:
Postingan (Atom)