Rabu, 03 Agustus 2016

Puisi Ketigapuluhtujuh

Pendusta

Aku bukan orang yang suci.
Terkadang sesekali diriku bersujud pada takdir yang kubuat sendiri.
Bagaikan gelap adalah cahaya penerang hidupku.
Dan dosa adalah teman sejagat kalbuku.

Aku sering mengurung diri di depan tembok ratapan diri.
Memahat sejuta janji untuk mengubah diri menjadi lebih baik lagi.
Walau kusesal diri ini hanya mencibir hati.
Tanpa sadar kalau janji ini tak pernah aku tepati.

Dibalik pengakuan ini aku berjanji sekali lagi.
Untuk tidak mendustai diri.
Walau jiwa ini cukup yakin.
Esok tak pernah hadir membawa jawaban pasti.

Kota Daeng, 20 Juli 2016

Puisi Ketigapuluhenam

Masa Depan

Ada cerita yang tak dapat digenggam oleh ingatanku sendiri.
'Masa Depan'.
Itu yang kumaksud.

Makassar, 18 Juli 2016

Puisi Ketigapuluhlima

Nokturnal

Aku terbebas dari rahim seorang ibu di sepertiga malamku.
Mataku terbuka tapi terbutakan oleh gelapnya malam.
Katanya, dunia lagi cantik-cantiknya di kala itu.
Aku tak percaya, sebab hal itu hanya berupa bisikan seorang malaikat berwujud abstrak.

Siapa mereka?
Terdengar suara bahagia dengan nada sedikit parau melintas di daun telingaku.
Mungkin perasaanku saja.
Meski aku cukup yakin, kala itu aku belum memiliki perasaan yang tampak menyiksa seperti sekarang.

Rumah Sakit sederhana di persimpangan jalan adalah persinggahan awalku sebelum merajut kisah di dunia ini.
Dinding retak berwarna putih yang memudar itu merupakan batas teritori antara aku dan dunia luar.
Dari atap sedikit bocor terlihat bintang dan rembulan sedang tersenyum sejenak bersamaku.

Jiwaku cukup lelah bertanya kesana kemari.
Aku butuh jawaban pasti.
Penat diri ini hanya mengukir seribu tanda tanya diri.
Seketika kutemukan sebuah jawaban dari langit ketujuh.
Seraya berkata: 'Aku ini hewan yang berpikir'.

Pare-pare, 7 Juli 2016

Puisi Ketigapuluhempat

Segelas Rasa Pahit

Dari semua rasa yang pernah kupinjam darimu.
Hanya rasa pahit yang tak akan pernah kukembalikan padamu.

Biarkan ini menjadi perkara aku saja.
Sebab kamu terlalu manis untuk mengecap aroma pahit dari bibir gelas kopi buatanku ini.

Aku terlahir sebagai peramu saji.
Dan kau adalah pelanggan yang aku hormati.

Kuharap esok pukul delapan pagi.
Kau hadir membawa cerita baru lagi.

Langit Jakarta, 3 Juli 2016

Puisi Ketigapuluhtiga

Gelap Saja(k)

Malam telah menggelap.
Dalam gelap yang pekat kupandang diriku di depan cermin.
Kini aku terbebas menjadi apa saja.
Aku memilih menjadi bait.
Di akhir puisi ini.

2 Juli 2016 di Langit Jakarta

Puisi Ketigapuluhdua

Puas(a)

Siang terik kubutuh segelas air es.
Gelasnya yang sedikit hangat karena aku ingin mengecap teriknya matahari.
Tapi kerongkongan tak mau dibasuh air.
Katanya, Adzan Maghrib lagi dalam perjalanan membawakan segelas air es.

2 Juli 2016 dan masin berpuasa

Puisi Ketigapuluhsatu

Mata Sastra

Hingga rembulan dibungkam matahari.
Mata ini tak dapat menutup dirinya sendiri.
Sastra seolah menari-nari dipikiranku.
Adakah yang merasakannya juga?
Jika ada, maka kau adalah kawanku.

Puisi Ketigapuluh

Yang, Hujan

Senang diriku menyapa hujan sore ini.
Seenaknya dia datang, pergi, dan kembali lagi di peraduan yang sama.
Dengan dengan yang di waktu yang bersamaan.

Kucoba mengenal rintik hujan dibalik celah jendela kamarku.
Aroma hujan selalu membuatku rindu.
Tak ada emosi yang menyertai, walau kadang kala hujan menghambat gerak diriku untuk memuja waktu.

Wahai hujan, kembalilah di waktu petang.
Mungkin dalam sepi aku membutuhkan kehangatanmu walau aku benci menyepi di malam hari.

Sore ini, 23 Juni 2016

Puisi Keduapuluhsembilan

Realitas

Menurutku dialog kebenaran tak perlu kita lakukan.
Realitas pada hakikatnya semu.

Intuisiku yang membenarkan segalanya.
Jagat Raya telah bersaksi hingga Bima Sakti menyanggupi pendapatku itu.

Dini hari kita akan membungkam segala yang pasti.
Meski aku benci untuk dicaci.

Jakarta, 15 Juni 2016

Puisi Keduapuluhdelapan

Black Rose

Malam ini sedang sepi-sepinya.
Aku menyepi dibalik tanda tanya diri.
Pergulatan hidup tayang-menayang dalam tungku peraduanku.
Sama Saja!
Kenangan hanyalah mahkota angan yang mekar bagai 'Black Rose' di Halfeti.

Menjelang Sahur, 14 Juni 2016

Puisi Keduapuluhtujuh

Menyapa (?)

Hai?
Hallo?
Hei?

Banyak upaya untuk membuat dia menjawab.
Tapi dia berupaya untuk tidak membacanya.
Serumit inikah mengencani masa lalu?

Seperti memasuki 'Black Hole' dan tak tahu bagaimana harus kembali.

Menjelang Maghrib, 12 Juni 2016
 

Puisi Keduapuluhenam

Belati (!)

Mendekatlah !
Akan kutusuk dirimu dengan belati tajamku !
Kupastikan tepat ke inti jantungmu !
Agar kau menyadari.
"Merindu adalah pekerjaan yang menyiksa!"

Jakarta, 11 Juni 2016

Puisi Keduapuluhlima

Hening

Gema Adzan memecah kehengingan malam.
Tiap Lafadz yang terucap membangkitkan gelora yang mulai memudar.

Ayat demi ayat bagai candu rinduku kepada Sang Pencipta.
Air menjadi suci ketika membasuhi diri yang hina ini.

Tak ingin ku akhiri malam ini dengan kerinduan semata.
Tak ada sepi dan belenggu di satu purnama ini.

Lebih baik aku luapkan perkara hati ini melalui sujud dan doa kepada sang ilahi.
Semoga esok kerinduan ini terulang kembali dan menjadi abadi.

Jakarta, 5 Ramadhan 1437 H

Selasa, 02 Agustus 2016

Puisi Keduapuluhempat

Belenggu



Seperti membunuhmu dalam kesunyian.
Tak ada yang tahu selain kita yang saling membelenggu.

Senin, 01 Agustus 2016

Puisi Keduapuluhtiga

Tulis

Menulisku pada selembar kertas yang telah kupersiapkan.
Pena bertinta hitam sudah berada di jemari tanganku.
Pikiranku sekarang beradu dengan imajinasiku.

Semua kata telah aku tuangkan.
Semua rasa telah aku luapkan.
Semua angan kini menjadi kenangan.

Kertasku kini menjadi ramai.
Seolah gaduh mengadu satu dengan kata yang lain.
Aku bertaruh.

Kalimat ini mungkin tak seindah parasmu yang lugu.

Jakarta, 21 Mei 2016

Puisi Keduapuluhdua

Hujanku

Hujanku kini bersenandung bersama malam.
Kuhiraukan suara bising di keramaian kota.
Hujanku kini berselimut rindu.
Menepis segala ragu dalam balutan irama bergerumuh.
Hujanku kini bersemayam dalam kalbu.
Menusuk hingga tandu di dalam sukma yang beradu.
Hujanku kini,
Hanyalah alasan diriku untuk merindukanmu.

Jakarta, 20 Mei 2016

Puisi Keduapuluhsatu

Kanvas

Di kanvas putih kucoba menjadikanmu sebuah karya.

Tapi,

Aku tak tahu harus memulainya dari mana dan akan seperti apa.
Kutarik sudut diagonal agar membentang hingga ke dinding angkasa.
Kubebaskan dirimu menari pada kanvas itu.
Kuas yang awalnya beku kini seolah mengalir begitu deras.

Mungkin,

Aku tak bisa menyelesaikanmu pada malam ini.
Esok, lusa, atau kapanpun ini tak akan selesai.
Ahh!

Lebih baik kusudahi saja malam ini dengan tidur.
Mungkin esok saja kupikirkan kembali.

Jakarta, 18 Mei 2016

Rabu, 15 Juni 2016

Puisi Keduapuluh

Jakarta Bercerita

Gedung-gedung di kota ini seolah saling berbisik satu dan yang lain.
Hiruk-pikuk seolah menjadi pemandangan yang membosankan di kota ini.

Aku Bosan!

Manusia disini hanya bercerita mengenai uang dan kekuasaan.
Kemewahan dan ketenaran tak luput dari setiap lisan yang berbicara.

Aku Muak!

Segudang mimpi seolah menjadi cambuk amarah para pekerja serabutan.
Suara klakson seolah beradu memecah keheningan pagi dan malam hari.

Aku Piluh!

Disini hukum rimba menjadi pedoman hidup.
Dan arti kemanusiaan seolah hilang ditenggelamkan banjir yang kadang menghiasi kota ini.

Jakarta, 16 Mei 2016

Puisi Kesembilanbelas

Waktu

Waktu berjalan tertatih menanggalkan bekas di hati.

Butiran Pasir dalam wadah beku seolah pertanda bisu di hari itu.

Di telaga itu dirimu pernah bersenandung bersamaku.

Nada yang teruntai hanya menguap di persinggahan udara yang menusuk.

Waktu itu singkat.
          dan
Abadi itu panjang.

Tak perlu berbicara waktu karena hanya membuang-buang waktu.

Lebih baik jika dirimu menjadi Abadi dalam Puisi ini.

Jakarta, 13 Mei 2016

Puisi Kedelapanbelas

Jarak

Jauhku melangkah meninggalkan batas hidupku.
Jarak pemisah antara angan dan kenangan telah lebur menjadi satu.
Untaian sajak seakan membentang jauh ke dimensi keterasingan.

Entahlah..
Aku bukan sebab sebuah akibat.
Aku bukan nada sebuah irama.
Aku bukan tinta sebuah pena.

Tapi,
Aku hanya penjelmaan dari aksara pelipur lara.

Jakarta, 10 Mei 2016

Resensi Film Pertama

Ada Apa Dengan Cinta?(2002)


Film ini bagi sebagian orang hanya bercerita tentang pergolakan Cinta pada masa SMA saat itu. Dan menurut saya itu benar adanya, akan tetapi saya ingin mencoba menelisik film ini dari perspektif yang berbeda. Kita ketahui sosok Rangga (Nicholas Saputra) yang bersikap dingin dengan keadaan disekitarnya tapi secara ‘diam’ dia juga peka dengan manusia pada lingkungannya atau bisa dibahasakan “Humanist”. Seperti dia memperlakukan Pak Wardiman (Mang Diman) layaknya ayahnya sendiri. Pak Wardiman merupakan penjaga sekolah dan sekaligus orang yang mendaftarkan puisi Rangga dalam lomba puisi disekolahnya meskipun hal tersebut diluar dari sepengetahuan Rangga sendiri.

            Selanjutnya primadona dalam film AADC adalah Cinta (Dian Sastrowardoyo) kita ketahui bahwa Cinta memiliki peran yang sangat penting dalam film tersebut. Sosok Cinta yang sangat care terhadap sahabatnya bahkan kedekatan dia dengan “Geng Cinta” seperti layaknya keluarga sendiri. Tapi, Cinta sendiri memiliki sifat yang menginginkan pengakuan dari lingkungannya sehingga dia cukup kecewa ketika lomba puisi yang diadakan di sekolahnya dimenangkan oleh Rangga. Padahal, teman-temannya telah mengeluh-eluhkan namanya pada saat akan dibacakannya nama pemenang puisi oleh Bapak Kepala Sekolahnya.

            Puisi. Inilah yang memberikan kesan romantis dan menarik dari film AADC. Bahkan tanpa disadari berawal dari puisilah terjadi kedekatan Rangga dan Cinta akan tetapi pertengkaranpun diawali oleh puisi. Seperti ketika Rangga memenangkan lomba puisi dan Cinta hendak mewawancarai Rangga untuk dimuat di mading sekolah, Tapi Rangga menolak dan bersikap acuh terhadap Cinta sehingga membuat Api permusuhan diantara mereka berdua. Tapi, merekapun menjadi damai ketika Cinta mengembalikan buku Rangga yang berjudul “Aku” karya Sjuman Djaya yang sempat terjatuh ketika keduanya berselisih paham.

            Saya pribadi sedikit merasa bingung kenapa buku “Aku” menjadi referensi bacaan dalam film tersebut. Padahal setelah saya membaca buku tersebut hingga tuntas, saya tidak mendapatkan kesamaan “Benang Merah” antara buku tersebut dan Film AADC. Sedikit menggambarkan bahwa dalam buku tersebut tidak lain adalah kisah perjalanan hidup Chairil Anwar dan narasi dalam buku tersebut menggambarkan pergolakan masyakarat Indonesia dalam merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Mungkin dalam benak saya, buku tersebut sengaja dihadirkan sebagai upaya untuk meningkatkan kepekaan masyarakat terhadap sastra Indonesia yang kian menurun. Apalagi dalam buku itu menceritakan Chairil Anwar yang merupakan sastrawan legendaris di Indonesia. Bahkan bukan saja itu, kita mampu membayangkan kondisi Indonesia pada saat itu yang digamabar dalam buku tersebut mengalami pergolakan hingga peperangan yang cukup sengit terhadap penjajah. Ditambah Rangga mengagumi sosok Chairil Anwar.

            Rangga dan Cinta merupakan 2 insan yang berusaha menyatu tapi tak sanggup untuk berkata jujur akan perasaan mereka berdua. Mereka berpuisi sebagai media kejujuran tapi lisan mereka seolah beku untuk mengatakan yang sebenarnya mereka berdua rasakan selama ini. Hingga pada suatu hari Rangga memutuskan untuk pindah ke New York demi melanjutkan pendidikan dan hidupnya disana bersama Ayahnya tercinta. Kabar kepergian Rangga dari Pak Wardiman sontak membuat Cinta terkejut dibuatnya. Akan tetapi berkat dari dukungan “Geng Cinta” akhirnya Cinta mengambil langkah nekat untuk menyusulnya ke Bandara.

            Pertemuan mereka di Bandara tidak mendapatkan hasil yang memuaskan untuk Cinta sendiri dikarenakan Rangga tetap pergi meninggalkannya. Adegan Ciuman mereka seolah menyiratkan sebuah gambaran Romantisme yang terjadi dari kedua insan yang jatuh cinta tersebut. Akan tetapi takdir dan jarak harus memisahkan mereka. Sebelum Rangga benar-benar pergi dari kehidupan Cinta, Dia memberikan sebuah buku saku kepada Cinta untuk dibacanya pada halaman terakhir. Ternyata terdapat puisi yang sengaja ditujukan kepada Cinta;

Perempuan datang atas nama cinta
bunda pergi karna cinta
digenangi air racun jingga adalah wajahmu
seperti bulan lelap tidur di hatimu
yang berdinding kelam dan kedinginan

Ada apa dengannya
meninggalkan hati untuk dicaci
lalu sekali ini aku melihat karya surga
dari mata seorang hawa

Ada apa dengan cinta
tapi aku pasti akan kembali
dalam satu purnama
untuk mempertanyakan kembali cintanya.
bukan untuknya, bukan untuk siapa
tapi untukku

karena aku ingin kamu,itu saja.

Pesan dari puisi tersebut menyiratkan bahwa Rangga akan kembali demi Cinta yang menunggunya. Well, semoga saja Rangga kembali dalam satu Purnama.

Puisi Ketujuhbelas

Batas-batas

Batas-batas sepi berada dalam nestapa langkah yang rumit.
Tersingkap suatu perasaan kompleks untuk menyikapi pertautan hati ini.
Bejana hati siap terisi akan cintanya.

Tapi, nalarku mati jika dihapadapkannya senyumnya.
Duh! Jauhkan tatapannya dariku.
Aku berdalih dia tak merasa.

Sebab hanya dari balik tebing-tebinglah aku berani menatapnya.

Puisi Keenambelas

Benalu

Aku hanya benalu.
Terikat-ikat pada pekat.

Tajamku menatap.
Lirihku tersenyum.

Hajar aku ombak.
Sukmaku berontak.

Syahdukupun terdengar.
Sunyi mendekapku dalam gelap.

Jika esok matahari meninggi.
Maka harapku kepadamu kian menjadi.

Senin, 13 Juni 2016

Puisi Kelimabelas

Bayang-bayang Imajinasi

Sore itu.
Aku dan Kamu menatap senja yang kian mempesona.

Diteras rumah.
Kita berupaya berimajinasi akan makna dan arti hidup.

Tapi, Ketika senja meninggalkan kita dan malam menggantikan keagungannya.
Aku tersadar dirimu ikut hilang bersama kepergian matahari.

Terima Kasih bayangan.
Kau telah menjadi teman imajinasiku pada sore tadi.

Puisi Keempatbelas

Tangis Membekas

Air mataku tak terasa telah membanjiri ruanganku yang begitu sempit.
Buku-buku yang selama ini menjadi acuan hidupku.
Seolah hanyut dalam derasnya tangisku.

Sebabku menangis bukan karena aku patah hati atau aku merana dalam kesendirian.
Tapi, tangisku karena melihat kaum wanita yang tak mendapatkan pendidikan yang layak sepertiku.

Wahai para pemangku kekuasaan.
Tak sedihkah dirimu melihat ruanganku hanyut akan tangisku?
Aku tak menuntut harta.
Pintaku hanya kesetaraan.

Biar aku, kamu, dan kita membangun negara ini untuk menjadi lebih baik.

Puisi Ketigabelas

Pahlawan, Berjuang, dan Kebahagiaan

Tak usah kau berharap menjadi seorang PAHLAWAN.
Jika goresan luka membuatmu menderita.

Tak usah kau teriakkan kata BERJUANG.
Jika kamu ragu akan keberhasilan.

Tak usah kau mencari KEBAHAGIAAN.
Jika dirimu lebih nyaman dengan sebuah keterpurukan.

Lebih baik kuperkenalkan saja dengan sosok PAHLAWAN yang BERJUANG demi KEBAHAGIAAN para orang yang tertindas.
Dia adalah R.A Kartini.

Puisi Keduabelas

Surat Singkat Untukmu

Dear R.A Kartini.
Engkau tetap abadi dalam sejarah.
Engkau tetap sosok inspirasi bagi perempuan.
Engkau tetap tersirat dalam lisan perjuangan.
Dan engkau tetap menjadi simbol dari bentuk kesetaraan.

Terima Kasih.
Karena engkau telah menjadi jawaban dari ketidak-adilan yang dialami oleh Perempuan.

Puisi Kesebelas

Dialah R.A Kartini

Kelemahanku terletak pada wanita.
Kebahagianku bersumber dari senyuman seorang wanita.
Perjuangku hanyalah untuk mendapatkan seorang wanita.

Tapi naas nasibku.
Ternyata wanita itu tidak sedikitpun menanggapiku.
Dia malah sibuk memperjuangkan keadilan.
R.A Kartini namanya.

Puisi Kesepuluh

Bayang-bayang Semu

Pejamkan matamu maka bayangkan keindahan.
Mungkin akan terlintas pemandangan alam yang begitu asri dan tenang.

Tapi bagiku berbeda.
Yang terlintas dalam pikiranku adalah kesetaraan yang diperjuangkan oleh R.A Kartini.

Itulah keindahan yang sebenarnya.
Jika Manusia hidup bersama dengan perlakuan yang adil di Negeri ini.

Puisi Kesembilan

Pintaku Kepadamu

Musik seolah tak meluluhkan hatiku.
Dirimu seolah tak indah dimataku.
Cinta seolah bualan basi yang sering terdengar disana-sini.
Dan diriku seolah menjadi batu karang yang diam dihempas ombak yang bergerumuh.

Ada apa ini?
Bukan seperti ini yang kuharapkan.
Ini bukan aku.
Tapi, ini penggambaran dari gelisahku yang memberontak.

Sebaiknya kutancapkan saja harapan dan cintaku kepada sang pencipta.
Karena hanya dia yang abadi dan tak terikat ruang dan waktu.

Tuhan dengar!
Bisakah kau menghilangkan kegelisahanku terhadap diriku sendiri?
Hanya itu pintaku diatas segala keinginanku kepadamu.

*Aku hanya berteriak dalam hati, karena suara yang lantang tak mampu mengalahkan suara hujan yang merdu di malam ini.*

Puisi Kedelapan

Impian R.A Kartini

Kau bilang ini adil?!
Kami bilang ini pembodohan.
Kau bilang kami sebaiknya di dapur?!
Aku bilang gigit saja jarimu dan anggap itu seperti potongan wortel yang segar.

Aku menangis bukan karena aku sendiri meratapi nasib.
Aku diam memikirkan para perempuan yang kian bodoh tanpa ilmu pengetahuan.
Karena itu aku ingin melawan!
Sadar diriku bahwa pengetahuan itu seperti surga.
Dan harapanku surga itu dihuni juga oleh manusia yang berpengetahuan.

Dunia kian gelap jika cahaya hidup hanya diperuntukkan untuk kaum adam dan bangsawan.
Dunia tampak tak adil bagiku dan para golonganku!

Bukan uang yang kami harapkan!
Tapi kesetaraan akan ilmu pengetahuanlah yang ingin ku raih bersama para perempuan yang belum tercerahkan.

Puisi Ketujuh

Entahlah

Hidupku terlalu bebas.
Bahkan tak terbatas.
Kumau seseorang bertahta.
Agar hidupku dapat tertata.

Puisi Keenam

ABADI

Mungkin hanya dengan coretan tinta.
Membuat dirimu akan menjadi abadi.

Puisi Kelima

Seragamku Yang Tercoreng

Mataku seolah bingas!
Tanganku mengepal begitu kuat.

Keringatku bercucuran layaknya air bah yang mengalir begitu deras.
Seragamku terlihat semakin lusu.

Kendaraan hilir mudik seolah menjadi penyemangatku untuk bertindak!
Satu, dua, hingga puluhan remaja terlihat kian mendekat.

Matahari tampak mulai meninggalkanku.
Maka kuteriakkan kata 'SERANG!' untuk mengawali pertarungan sore itu.

Sabtu, 28 Mei 2016

Puisi Keempat

1/3 Malamku

Terasa asing dan seolah berada tak disini.
Malam sungguh memilukan.
Baik kisah maupun cerita tak terdengar pada malam ini.
Semua hening hanya kita yang tahu.

Menyusuri kota dengan nestapa.
1/3 malamku semakin dingin.
Langit membatasi sejuta impianku.
Aku malas untuk bermimpi.

Semua perihal kita.
Halaaaah..
Membunuh malamku ketika membayangkanmu.
Simpan tangismu untuk malam berikutnya.

Aku ingin sepi bersama tumpukan buku yang telah aku siapkan.

Jumat, 20 Mei 2016

Puisi Ketiga

Pikirku

Terjebak aku dalam keheningan malam.

Bisu aku dalam gelap.

Pikirku ini akan berlalu ketika Matahari hadir bersama semangatnya.

Tapi, gelisahku kian memberontak tiap sadarku menjelma menjadi kehampaan.

Senin, 16 Mei 2016

Puisi Kedua

Pertanyaan Hati?

- Atas dasar apa kau mencintaiku?
Sedangkan untaian kata nan indah jarang kau lontarkan kepadaku.

- Atas dasar apa kau ingin bersamaku?
Bukankah jarak tampak membuat kita menjadi berbeda.

- Atas dasar apa kau meninggalkanku?
Sadarkah aku hanya mengujimu dengan terus bertanya akan ketulusanmu kepadaku.

Hatiku Bodoh!

Tak pantas aku bertanya kepada hatiku sendiri.

Bolehkah kumiliki hatimu untuk menutupi keraguanku ini?

Puisi Pertama


Insomnia

Dikala orang-orang sedang terjaga.

Aku hanya bisa menatap dan tertegung melihat tembok yang membisu dibalik pintu yang telah tertutup rapat.

Gelapnya malam seperti sebuah peringatan keras yang ditujukan kepadaku untuk segera menutup 2 bola mata ini.

Ketika ayam berkokok sebagai pertanda hari baru telah tiba.

Akupun tetap sama menatap tembok dengan bayangan pintu dari pantulan cahaya dibalik jendela.

Maafkan aku mata.

Aku telah berupaya sekuat mungkin untuk mengistirahatkanmu.

Tapi apa daya, pesona Malam dan Pagi hari tak boleh terlewatkan olehku.