Pendusta
Aku bukan orang yang suci.
Terkadang sesekali diriku bersujud pada takdir yang kubuat sendiri.
Bagaikan gelap adalah cahaya penerang hidupku.
Dan dosa adalah teman sejagat kalbuku.
Aku sering mengurung diri di depan tembok ratapan diri.
Memahat sejuta janji untuk mengubah diri menjadi lebih baik lagi.
Walau kusesal diri ini hanya mencibir hati.
Tanpa sadar kalau janji ini tak pernah aku tepati.
Dibalik pengakuan ini aku berjanji sekali lagi.
Untuk tidak mendustai diri.
Walau jiwa ini cukup yakin.
Esok tak pernah hadir membawa jawaban pasti.
Kota Daeng, 20 Juli 2016
Rabu, 03 Agustus 2016
Puisi Ketigapuluhenam
Masa Depan
Ada cerita yang tak dapat digenggam oleh ingatanku sendiri.
'Masa Depan'.
Itu yang kumaksud.
Makassar, 18 Juli 2016
Ada cerita yang tak dapat digenggam oleh ingatanku sendiri.
'Masa Depan'.
Itu yang kumaksud.
Makassar, 18 Juli 2016
Puisi Ketigapuluhlima
Nokturnal
Aku terbebas dari rahim seorang ibu di sepertiga malamku.
Mataku terbuka tapi terbutakan oleh gelapnya malam.
Katanya, dunia lagi cantik-cantiknya di kala itu.
Aku tak percaya, sebab hal itu hanya berupa bisikan seorang malaikat berwujud abstrak.
Siapa mereka?
Terdengar suara bahagia dengan nada sedikit parau melintas di daun telingaku.
Mungkin perasaanku saja.
Meski aku cukup yakin, kala itu aku belum memiliki perasaan yang tampak menyiksa seperti sekarang.
Rumah Sakit sederhana di persimpangan jalan adalah persinggahan awalku sebelum merajut kisah di dunia ini.
Dinding retak berwarna putih yang memudar itu merupakan batas teritori antara aku dan dunia luar.
Dari atap sedikit bocor terlihat bintang dan rembulan sedang tersenyum sejenak bersamaku.
Jiwaku cukup lelah bertanya kesana kemari.
Aku butuh jawaban pasti.
Penat diri ini hanya mengukir seribu tanda tanya diri.
Seketika kutemukan sebuah jawaban dari langit ketujuh.
Seraya berkata: 'Aku ini hewan yang berpikir'.
Pare-pare, 7 Juli 2016
Aku terbebas dari rahim seorang ibu di sepertiga malamku.
Mataku terbuka tapi terbutakan oleh gelapnya malam.
Katanya, dunia lagi cantik-cantiknya di kala itu.
Aku tak percaya, sebab hal itu hanya berupa bisikan seorang malaikat berwujud abstrak.
Siapa mereka?
Terdengar suara bahagia dengan nada sedikit parau melintas di daun telingaku.
Mungkin perasaanku saja.
Meski aku cukup yakin, kala itu aku belum memiliki perasaan yang tampak menyiksa seperti sekarang.
Rumah Sakit sederhana di persimpangan jalan adalah persinggahan awalku sebelum merajut kisah di dunia ini.
Dinding retak berwarna putih yang memudar itu merupakan batas teritori antara aku dan dunia luar.
Dari atap sedikit bocor terlihat bintang dan rembulan sedang tersenyum sejenak bersamaku.
Jiwaku cukup lelah bertanya kesana kemari.
Aku butuh jawaban pasti.
Penat diri ini hanya mengukir seribu tanda tanya diri.
Seketika kutemukan sebuah jawaban dari langit ketujuh.
Seraya berkata: 'Aku ini hewan yang berpikir'.
Pare-pare, 7 Juli 2016
Puisi Ketigapuluhempat
Segelas Rasa Pahit
Dari semua rasa yang pernah kupinjam darimu.
Hanya rasa pahit yang tak akan pernah kukembalikan padamu.
Biarkan ini menjadi perkara aku saja.
Sebab kamu terlalu manis untuk mengecap aroma pahit dari bibir gelas kopi buatanku ini.
Aku terlahir sebagai peramu saji.
Dan kau adalah pelanggan yang aku hormati.
Kuharap esok pukul delapan pagi.
Kau hadir membawa cerita baru lagi.
Langit Jakarta, 3 Juli 2016
Dari semua rasa yang pernah kupinjam darimu.
Hanya rasa pahit yang tak akan pernah kukembalikan padamu.
Biarkan ini menjadi perkara aku saja.
Sebab kamu terlalu manis untuk mengecap aroma pahit dari bibir gelas kopi buatanku ini.
Aku terlahir sebagai peramu saji.
Dan kau adalah pelanggan yang aku hormati.
Kuharap esok pukul delapan pagi.
Kau hadir membawa cerita baru lagi.
Langit Jakarta, 3 Juli 2016
Puisi Ketigapuluhtiga
Gelap Saja(k)
Malam telah menggelap.
Dalam gelap yang pekat kupandang diriku di depan cermin.
Kini aku terbebas menjadi apa saja.
Aku memilih menjadi bait.
Di akhir puisi ini.
2 Juli 2016 di Langit Jakarta
Malam telah menggelap.
Dalam gelap yang pekat kupandang diriku di depan cermin.
Kini aku terbebas menjadi apa saja.
Aku memilih menjadi bait.
Di akhir puisi ini.
2 Juli 2016 di Langit Jakarta
Puisi Ketigapuluhdua
Puas(a)
Siang terik kubutuh segelas air es.
Gelasnya yang sedikit hangat karena aku ingin mengecap teriknya matahari.
Tapi kerongkongan tak mau dibasuh air.
Katanya, Adzan Maghrib lagi dalam perjalanan membawakan segelas air es.
2 Juli 2016 dan masin berpuasa
Siang terik kubutuh segelas air es.
Gelasnya yang sedikit hangat karena aku ingin mengecap teriknya matahari.
Tapi kerongkongan tak mau dibasuh air.
Katanya, Adzan Maghrib lagi dalam perjalanan membawakan segelas air es.
2 Juli 2016 dan masin berpuasa
Puisi Ketigapuluhsatu
Mata Sastra
Hingga rembulan dibungkam matahari.
Mata ini tak dapat menutup dirinya sendiri.
Sastra seolah menari-nari dipikiranku.
Adakah yang merasakannya juga?
Jika ada, maka kau adalah kawanku.
Hingga rembulan dibungkam matahari.
Mata ini tak dapat menutup dirinya sendiri.
Sastra seolah menari-nari dipikiranku.
Adakah yang merasakannya juga?
Jika ada, maka kau adalah kawanku.
Puisi Ketigapuluh
Yang, Hujan
Senang diriku menyapa hujan sore ini.
Seenaknya dia datang, pergi, dan kembali lagi di peraduan yang sama.
Dengan dengan yang di waktu yang bersamaan.
Kucoba mengenal rintik hujan dibalik celah jendela kamarku.
Aroma hujan selalu membuatku rindu.
Tak ada emosi yang menyertai, walau kadang kala hujan menghambat gerak diriku untuk memuja waktu.
Wahai hujan, kembalilah di waktu petang.
Mungkin dalam sepi aku membutuhkan kehangatanmu walau aku benci menyepi di malam hari.
Sore ini, 23 Juni 2016
Senang diriku menyapa hujan sore ini.
Seenaknya dia datang, pergi, dan kembali lagi di peraduan yang sama.
Dengan dengan yang di waktu yang bersamaan.
Kucoba mengenal rintik hujan dibalik celah jendela kamarku.
Aroma hujan selalu membuatku rindu.
Tak ada emosi yang menyertai, walau kadang kala hujan menghambat gerak diriku untuk memuja waktu.
Wahai hujan, kembalilah di waktu petang.
Mungkin dalam sepi aku membutuhkan kehangatanmu walau aku benci menyepi di malam hari.
Sore ini, 23 Juni 2016
Puisi Keduapuluhsembilan
Realitas
Menurutku dialog kebenaran tak perlu kita lakukan.
Realitas pada hakikatnya semu.
Intuisiku yang membenarkan segalanya.
Jagat Raya telah bersaksi hingga Bima Sakti menyanggupi pendapatku itu.
Dini hari kita akan membungkam segala yang pasti.
Meski aku benci untuk dicaci.
Jakarta, 15 Juni 2016
Menurutku dialog kebenaran tak perlu kita lakukan.
Realitas pada hakikatnya semu.
Intuisiku yang membenarkan segalanya.
Jagat Raya telah bersaksi hingga Bima Sakti menyanggupi pendapatku itu.
Dini hari kita akan membungkam segala yang pasti.
Meski aku benci untuk dicaci.
Jakarta, 15 Juni 2016
Puisi Keduapuluhdelapan
Black Rose
Malam ini sedang sepi-sepinya.
Aku menyepi dibalik tanda tanya diri.
Pergulatan hidup tayang-menayang dalam tungku peraduanku.
Sama Saja!
Kenangan hanyalah mahkota angan yang mekar bagai 'Black Rose' di Halfeti.
Menjelang Sahur, 14 Juni 2016
Malam ini sedang sepi-sepinya.
Aku menyepi dibalik tanda tanya diri.
Pergulatan hidup tayang-menayang dalam tungku peraduanku.
Sama Saja!
Kenangan hanyalah mahkota angan yang mekar bagai 'Black Rose' di Halfeti.
Menjelang Sahur, 14 Juni 2016
Puisi Keduapuluhtujuh
Menyapa (?)
Hai?
Hallo?
Hei?
Banyak upaya untuk membuat dia menjawab.
Tapi dia berupaya untuk tidak membacanya.
Serumit inikah mengencani masa lalu?
Seperti memasuki 'Black Hole' dan tak tahu bagaimana harus kembali.
Menjelang Maghrib, 12 Juni 2016
Hai?
Hallo?
Hei?
Banyak upaya untuk membuat dia menjawab.
Tapi dia berupaya untuk tidak membacanya.
Serumit inikah mengencani masa lalu?
Seperti memasuki 'Black Hole' dan tak tahu bagaimana harus kembali.
Menjelang Maghrib, 12 Juni 2016
Puisi Keduapuluhenam
Belati (!)
Mendekatlah !
Akan kutusuk dirimu dengan belati tajamku !
Kupastikan tepat ke inti jantungmu !
Agar kau menyadari.
"Merindu adalah pekerjaan yang menyiksa!"
Jakarta, 11 Juni 2016
Mendekatlah !
Akan kutusuk dirimu dengan belati tajamku !
Kupastikan tepat ke inti jantungmu !
Agar kau menyadari.
"Merindu adalah pekerjaan yang menyiksa!"
Jakarta, 11 Juni 2016
Puisi Keduapuluhlima
Hening
Gema Adzan memecah kehengingan malam.
Tiap Lafadz yang terucap membangkitkan gelora yang mulai memudar.
Ayat demi ayat bagai candu rinduku kepada Sang Pencipta.
Air menjadi suci ketika membasuhi diri yang hina ini.
Tak ingin ku akhiri malam ini dengan kerinduan semata.
Tak ada sepi dan belenggu di satu purnama ini.
Lebih baik aku luapkan perkara hati ini melalui sujud dan doa kepada sang ilahi.
Semoga esok kerinduan ini terulang kembali dan menjadi abadi.
Jakarta, 5 Ramadhan 1437 H
Gema Adzan memecah kehengingan malam.
Tiap Lafadz yang terucap membangkitkan gelora yang mulai memudar.
Ayat demi ayat bagai candu rinduku kepada Sang Pencipta.
Air menjadi suci ketika membasuhi diri yang hina ini.
Tak ingin ku akhiri malam ini dengan kerinduan semata.
Tak ada sepi dan belenggu di satu purnama ini.
Lebih baik aku luapkan perkara hati ini melalui sujud dan doa kepada sang ilahi.
Semoga esok kerinduan ini terulang kembali dan menjadi abadi.
Jakarta, 5 Ramadhan 1437 H
Selasa, 02 Agustus 2016
Puisi Keduapuluhempat
Belenggu
Seperti membunuhmu dalam kesunyian.
Tak ada yang tahu selain kita yang saling membelenggu.
Seperti membunuhmu dalam kesunyian.
Tak ada yang tahu selain kita yang saling membelenggu.
Senin, 01 Agustus 2016
Puisi Keduapuluhtiga
Tulis
Menulisku pada selembar kertas yang telah kupersiapkan.
Pena bertinta hitam sudah berada di jemari tanganku.
Pikiranku sekarang beradu dengan imajinasiku.
Semua kata telah aku tuangkan.
Semua rasa telah aku luapkan.
Semua angan kini menjadi kenangan.
Kertasku kini menjadi ramai.
Seolah gaduh mengadu satu dengan kata yang lain.
Aku bertaruh.
Kalimat ini mungkin tak seindah parasmu yang lugu.
Jakarta, 21 Mei 2016
Menulisku pada selembar kertas yang telah kupersiapkan.
Pena bertinta hitam sudah berada di jemari tanganku.
Pikiranku sekarang beradu dengan imajinasiku.
Semua kata telah aku tuangkan.
Semua rasa telah aku luapkan.
Semua angan kini menjadi kenangan.
Kertasku kini menjadi ramai.
Seolah gaduh mengadu satu dengan kata yang lain.
Aku bertaruh.
Kalimat ini mungkin tak seindah parasmu yang lugu.
Jakarta, 21 Mei 2016
Puisi Keduapuluhdua
Hujanku
Hujanku kini bersenandung bersama malam.
Kuhiraukan suara bising di keramaian kota.
Hujanku kini berselimut rindu.
Menepis segala ragu dalam balutan irama bergerumuh.
Hujanku kini bersemayam dalam kalbu.
Menusuk hingga tandu di dalam sukma yang beradu.
Hujanku kini,
Hanyalah alasan diriku untuk merindukanmu.
Jakarta, 20 Mei 2016
Hujanku kini bersenandung bersama malam.
Kuhiraukan suara bising di keramaian kota.
Hujanku kini berselimut rindu.
Menepis segala ragu dalam balutan irama bergerumuh.
Hujanku kini bersemayam dalam kalbu.
Menusuk hingga tandu di dalam sukma yang beradu.
Hujanku kini,
Hanyalah alasan diriku untuk merindukanmu.
Jakarta, 20 Mei 2016
Puisi Keduapuluhsatu
Kanvas
Di kanvas putih kucoba menjadikanmu sebuah karya.
Tapi,
Aku tak tahu harus memulainya dari mana dan akan seperti apa.
Kutarik sudut diagonal agar membentang hingga ke dinding angkasa.
Kubebaskan dirimu menari pada kanvas itu.
Kuas yang awalnya beku kini seolah mengalir begitu deras.
Mungkin,
Aku tak bisa menyelesaikanmu pada malam ini.
Esok, lusa, atau kapanpun ini tak akan selesai.
Ahh!
Lebih baik kusudahi saja malam ini dengan tidur.
Mungkin esok saja kupikirkan kembali.
Jakarta, 18 Mei 2016
Di kanvas putih kucoba menjadikanmu sebuah karya.
Tapi,
Aku tak tahu harus memulainya dari mana dan akan seperti apa.
Kutarik sudut diagonal agar membentang hingga ke dinding angkasa.
Kubebaskan dirimu menari pada kanvas itu.
Kuas yang awalnya beku kini seolah mengalir begitu deras.
Mungkin,
Aku tak bisa menyelesaikanmu pada malam ini.
Esok, lusa, atau kapanpun ini tak akan selesai.
Ahh!
Lebih baik kusudahi saja malam ini dengan tidur.
Mungkin esok saja kupikirkan kembali.
Jakarta, 18 Mei 2016
Langganan:
Postingan (Atom)